Yoo.. Hindari Perilaku Korup...!!

Rabu, 25 November 2015

HELI KEPRESIDENAN ATAU HELI VVIP TNI AU?

Helikopter Agusta Westland AW101
Selama beberapa minggu ini bersimpangsiur berita soal helikopter VVIP TNI AU yang disebut sebagai helikopter kepresidenan pilihan Jokowi dengan menafikan produk heli PT DI.
Beberapa orang langsung menelan mentah-mentah berita itu tanpa menggunakan nalar, karena terbiasa diasupi "gizi" dari "TV Oon".
Setelah mendiamkannya beberapa saat, beberapa hari ini saya merasa perlu untuk menanggapinya.
Bukan karena saya merasa perlu membela Jokowi atau siapapun, tetapi karena tahun 2014 lalu saya tahu ada teman SMA saya yang saat ini adalah perwira di TNI AU yang pernah menjadi bagian Renstra TNI AU sebagai penentu pilihan TNI AU dalam melakukan peremajaan unit alutsistanya termasuk helikopter Agusta tersebut.

Saya telah mengkonfirmasi kepada yang bersangkutan mengenai helikopter tersebut dan jawabannya tegas (seperti pernyataan saya kepada beberapa orang minggu lalu) bahwa heli tersebut adalah heli VVIP TNI AU sebagai pengganti Super Puma yang sudah obsolete, bukan heli kepresidenan.

Prototype Helikopter Agusta Westland AW101

Apakah kita sudah lupa kejadian kecelakaan heli SuperPuma beberapa waktu belakangan yang terkadang merenggut nyawa prajurit TNI?
Berikut adalah berita yang bisa di baca mengenai kecelakaan Super Puma di 2014 lalu:

Bersyukur bahwa kecelakaan tersebut tidak membawa korban jiwa tidak seperti kecelakaan Super Puma lainnya. Penyebab dari kecelakaan Super Puma selain karena masalah cuaca sebenarnya sudah diketahui sejak lama yaitu bahwa sukucadangnya beberapa sudah obsolete dan kadang harus kanibal mengambil dari pesawat lain. Mengapa obsolete? Karena Super Puma sudah uzur, sudah berumur 20 tahunan lebih.
Menurut teman saya tersebut, Eurocopter sebagai produsen Super Puma sudah menyarankan agar TNI segera mengganti heli tersebut dengan yang lebih baru terkait ketersediaan suku cadang dan teknologi pendukungnya.

Cocpit Helikopter Agusta Westland AW101 

Berdasarkan hal tersebut itulah maka TNI AU ingin memperbaharui heli VVIP yang juga dapat dipakai sebagai heli tempur berdaya muat besar, dengan spesifikasi sebagai berikut:
-memiliki selfdefence chaff and flare
-dapat dipersenjatai
-teknologi mesin termutakhir
-sistem navigasi termutakhir
-all glass cockpit
-sistem redaman getaran terbaik di kelasnya
-memiliki kabin yg tinggi sehingga tamu VVIP tidak perlu menunduk
-back up engine minimal 2 buah
-memiliki backup hydraulic system tetlengkap di kelasnya
-30 minutes proven main gear box dry
-the latest autopilot
-4 axis auto-hover

Tempat Duduk Penumpang Heli Agusta Westland AW101

Dari penjelasan teman saya, akhirnya diputuskan oleh tim renstra untuk memilih heli Agusta AW-101.
Ada pertanyaan dari para pengkritik, mengapa tidak menggunakan produk PT DI?
Well, PT DI tidak pernah membuat helikopter, merakit helikopter YA, tapi membuat heli TIDAK.

Merakit dan membuat itu sangat berbeda.
Bandingkan anda sebagai pembuat tahu dengan anda sebagai penggoreng tahu, mana yang perlu keahlian lebih?
Merakit berarti menyusun bagian-bagian terpisah menjadi satu kesatuan, tetapi membuat berarti melakukan RnD dari scratch, dari sketsa awal sampai jadi prototype untuk diuji sebelum dapat dipakai secara umum.
Merakit perlu keterampilan memasang dengan presisi serta keahlian menggunakan tools, tetapi untuk menciptakan/membuat akan lebih banyak membutuhkan ingenuity dibanding keterampilan semata.
Ingenuity berarti kecerdasan, mampu memulai sesuatu secara orisinil, bukan mencontek, dan terutama adalah menciptakan (to invent).
Dari kata ingenuity inilah ada kata "engineer" (https://yeapak.wordpress.com/2012/0...) yang berarti bukan sekedar berkonotasi "sarjana teknik" tetapi lebih kepada arti orang yang memiliki kejeniusan/kemampuan kecerdasannya dalam menciptakan sesuatu yang orisinal.

Formasi Tempat Duduk Helikopter AgustaWestland AW101

Jadi, merakit/assembling tidak sama dengan menciptakan/to invent.
PT DI bukan pencipta helikopter. PT DI hanya melakukan assembling atas heli dari produsen terkenal misanya Bell atau Bolco atau Super Puma tentu atas lisensi yang diberikan oleh produsen tersebut.
Mendapatkan lisensi untuk merakit pesawat heli tidak mudah, karena merakit pesawat heli tidak semudah merakit rak piring atau lemari baju yang dijual di supermarket.
Perlu pengujian dan sertifikasi di sini, akan tetapi semua keahlian yang diuji lebih merujuk pada keterampilan dan keahlian menggunakan alat dalam memasang bagian pesawat helikopter tersebut.
PT DI juga mendapatkan lisensi untuk membuat bagian pesawat Airbus A-380. Tetapi PT DI bukan berarti menciptakan pesawat Airbus A-380 toh?
Membuat pesawat terbang sipil YA dapat dilakukan PT DI, TETAPI, menjadi inventor heli bukanlah satu keahlian PT DI termasuk membuat heli tempur yang juga dapat menjadi heli VVIP.
Produk heli PT DI saat ini pun tidak memiliki spesifikasi yang disyaratkan di atas.


Untuk itulah diperlukan produk dari luar yang jelas sudah ada SAAT INI, bukan 10 atau 30 tahun yang akan datang.
Ini alasan mengapa penggantian Super Puma tidak menggunakan produk heli PT DI.

Misalkan juga mengenai UAV atau "drone". TNI AU memerlukan UAV. Produk UAV lokal baru sampai pada level 5, sedang yang dibutuhkan adalah level 9. Akibatnya dilakukan pengadaan silang, sebagian dari produsen lokal, sebagian dari luar negeri.
Apakah UAV kita sudah selevel Predator seperti di film Bourne Legacy? Belum. Perlu ada Transfer of Technology (ToT) sampai kita dapat membuat UAV selevel Predator.

Ingat, Jepang dan Korea Selatan misalnya perlu RnD puluhan tahun dari sekedar meniru sampai bisa membuat produk sendiri. Rentang puluhan tahun itu tidak bisa diabaikan untuk bisa masuk pada level "inventor".
Apakah kita harus menunggu belasan tahun sampai produsen lokal bisa membuat apa yang kita butuhkan untuk SAAT INI?
Untuk mempersingkat waktu RnD maka diperlukan ToT, produsen lokal mendapatkan ilmu dari produsen asing saat negara ini membeli produk luar.

Ini yang membedakan dari sekedar membeli barang di pasar. Membeli alutsista juga termasuk ToT kepada engineer lokal sehingga ada kemampuan untuk meniru dan akhirnya mencipta. Ini yang telah dilakukan PT DI dalam hal pesawat terbang sipil. Meniru dan akhirnya mencipta, di mana perlu belasan tahun untuk mencapainya (dimulai dari Cassa menjadi N-250 bahkan N-2130)

Kembali ke masalah heli VVIP, tujuan pengadaan heli ini jelas, adalah untuk mengganti Super Puma yang sudah obsolete.
Dengan kemampuan heli Agusta AW-101, maka heli tersebut mampu menjadi heli tempur selain juga heli VVIP.
Heli ini akan dipakai oleh petinggi TNI semisal Panglima TNI, kepala staf, dan komandan lainnya apabila mengunjungi pasukan di daerah yang terpencil yang tak terjangkau jalan darat/laut biasa.
Karena fungsi VVIP nya juga maka heli ini dapat menjadi heli untuk perjalanan dinas Presiden/Wapres.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa heli ini dibeli bukan khusus untuk heli bagi Presiden/Wapres (berbeda dengan pesawat kepresidenan yang dibeli di masa SBY kemarin).
Ini adalah heli VVIP yang dipakai juga untuk tempur (lihat spesifikasi di atas) karena dapat dipersenjatai dan mengangkut banyak pasukan. Heli ini direncanakan dalam renstra 2014 untuk diwujudkan pada 2015 seiring adanya anggaran peremajaan alutsista TNI jadi bukan diputuskan oleh Jokowi.

Semoga dengan penjelasan ini clear bahwa heli AW-101 bukanlah heli kepresidenan dan berita hoax yang tersebar segera berhenti.
Taguig-Philippines, 24 November 2015
P.S: Untuk broer teman segraha dulu, terimakasih buat diskusinya hari ini.

Diturunkan dari FB Alexander Pratomo·24 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar